Minggu, 28 Juli 2019
Ketum JBMI, H. Albiner Sitompul, S.IP, M.AP : Pentingnya Dibentuk BNPKAT untuk Komunitas Adat Terpencil
KETUA UMUM DPP Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI), H. Albiner Sitompul, S.IP, M.AP, telah merampungkan hasil penelitiannya setelah 2 bulan berasimilasi dengan Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi. Bundel buku hasil penelitian bersampul depan bergambar Albiner Sitompul mengenakan kaos warna hitam, kopiah putih di kepala, dan berserebet sarung sedang memberikan permen kepada seorang bocah perempuan SAD , ia beri judul: “Pengaruh Implementasi Kebijakan Publik Pemberdayaan Generasi Muda Suku Anak Dalam Mencegah dan Menyelesaikan Konflik di Provinsi Jambi Dalam Rangka Ketahanan Nasional.”
Keberadaan SAD di Jambi memang sudah terekspos oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Lantas, mengapa seorang Albiner Sitompul begitu serius bahkan rela meninggalkan keluarga kecilnya selama 2 bulan untuk beradaptasi, bersosialisasi, hingga melakukan penelitian terhadap SAD yang tersebar di delapan kabupaten yang ada di Provinsi Jambi.
“Ada banyak poin penting yang saya dapatkan dari hasil penelitian langsung ini. Saya kira penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya,” kata Albiner Sitompul memberikan bocoran hasil petualangannya di wilayah pedalaman Jambi.
Berada di tengah-tengah suku pedalaman memang sudah tak asing bagi mantan Kepala Biro Pers Istana di masa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketika menjabat Asisten Teritorial TNI di Papua, Albiner Sitompul kerap berinteraksi dengan komunitas adat terpencil di Bumi Cendrawasih
Mengulik lebih dalam misi mulia pria kelahiran Sibolga, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 23 Februari 1965 ini terhadap SAD di Jambi, Syarifudin dari Visioneer tergelitik untuk mewawancarainya. Berikut petikannya:
Bagaimana ceritanya Anda tertarik melakukan penelitian terhadap keberadaan Anak Suku Dalam di Jambi?
Semua itu berawal dari dibangunnya Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, yang digagas oleh Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI). Pembangunan tugu ini telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Maret 2017.
Pembangunan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara ini sebagai simbol masuknya ajaran agama Islam ke tanah Batak sejak abad ke-10 Masehi. Namun, eksistensi masyarakat Islam di tanah Batak telah dimulai sejak dua atau tiga abad sebelumnya. Hal ini dibuktikan adanya makam mahligai bertarikh abad ke-8 Masehi di Barus, yang menguatkan keberadaan komunitas Muslim yang mapan di tanah Batak.
Zaman kolonial Belanda menjajah Indonesia, sekitar tahun 1890-an, di Desa Janji Angkola, Tapanuli Utara, ada salah satu pemuka agama Islam, yaitu Tuan Syeikh Ibrahim Sitompul. Beliau juga Kepala Kampung Janji Angkola yang melakukan perlawanan dan melakukan aksi politik terhadap penjajah Belanda di tanah Batak. Konon, Tuan Syeikh Ibrahim Sitompul tak hanya menyiarkan agama Islam di tanah Batak, tapi juga ke wilayah lain di Sumatera, termasuk ke Jambi.
Sebagai organisasi Islam, bagaimana JBMI memposisikan diri di tengah perbedaan agama yang ada di tanah Batak?
Saya adalah Ketua Umum DPP JBMI. Dalam proses pemilihan Ketum JBMI, sebelumnya saya diminta oleh umat Batak Muslm untuk ikut dalam Musyawarah Nasional (Munas) JBMI yang digelar Januari 2016. Hasil aklamasi mereka meminta dan menerima saya sebagai Ketum DPP JBMI untuk periode 2016-2021.
Pandangan saya terhadap Batak Muslim adalah dari sisi budaya bahwa Batak itu mempunyai keunikan. Uniknya di adat istiadat Dalihan Natolu yang mengatakan, elek marboru, somba marhula hula, manat mardongan tubu. Elek marboru artinya, kita harus menyayangi putri kita, keluarga putri kita, dan semua keluarga dari pihak putri. Jadi, kita harus menyayangi, mengayomi, melayani mereka. Maksud Somba marhula hula adalah kita harus menghormati keluarga dari istri kita, keluarga dari ibu kita, dan keluarga dari nenek kita. Mereka adalah ibu bagi kita yang melahirkan semua keturunan kita. Sesama keturunan kita namanya manat mardongan tubu. Jadi, kita harus saling menghormati, saling setara, menjaga kebersamamaan, dan membina hubungan kekeluargaan.
Itulah makna dari Dalihan Natolu. Uniknya lagi, ketika orang Batak itu memeluk agama Islam, Kristen, Hindu, atau Budha, tapi Dalihan Natolu tidak berubah. Walapun beda agama, dia tetap memanggil Tulang, Namboru, Abang, Adik, Bapak Tua, Bapak Uda, dan Anak.
Saya contohkan untuk adat hula hula, Bobby Nasution menikah dengan Kahiyang Ayu, putri Presiden Jokowi, yang notabene orang Jawa. Kemudian pihak dari Presiden Jokowi berasimilasi dengan adat Batak, maka diangkat dengan gelar marga Siregar. Bobby yang bermarga Nasution memanggil Tulang kepada Siregar. Itulah contoh konkritnya.
Tahap selanjutnya setelah Anda terpilih sebagai Ketum JBMI?
Saya memulainya dengan menyelenggarakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) JBMI yang kegiatannya antara lain mengadakan seminar di Mandailing Natal. Acara Silatnas JBMI ditutup oleh Presiden Jokowi pada Maret 2017.
Materi pembahasan seminar untuk membangkitkan marwah Dalihan Natolu. Bahwa orang Batak ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, dan Kristen. Bahwa Batak itu adalah budaya. Dengan Dalihan Natolu mereka bisa berasimilasi, menjalin, menjaga kebersamaan, keutuhan hubungan kekerabatan, dan silaturahmi, baik sesama adat maupun di luar adat Batak. Apakah itu dengan suku Padang, Palembang Melayu, Jambi Melayu, Jawa, Sunda, Dayak, Kalimantan, dan suku lainnya, mereka punya hubungan kekerabatan dengan orang Batak. Ternyata ajaran Dalihan Natolu tidak bertentangan dengan agama dan Pancasila.
Presiden Jokowi saat memberikan sambutan acara penutupan Silatnas JBMI juga berpesan agar JBMI sebagai ormas harus mewujudkan persatuan, kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan dengan semua suku yang ada di Indonesia.
Nah, setelah peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus, saya melakukan perjalanan ke Pekanbaru, Padang, sampai ke Palembang. Ketika menginjakkan kaki di Jambi, saya melihat ada sebuah keunikan terhadap aktivitas dan kehidupan Suku Anak Dalam. Semakin saya perhatikan, semakin dalam keingintahuan saya tentang Suku Anak Dalam. Bathin saya bertanya, di mana beradanya Suku Anak Dalam? Apakah dia pemeluk agama Hindu, Budha, Kristen, atau Islam? Dari situlah saya memutuskan untuk melakukan penelitian. Kemudian saya bertemu dengan Jenang yang menjadi perwakilan Suku Anak Dalam yang berada di perkampungan umum.
Kapan penelitian itu mulai dilakukan?
Saya mulai melakukan penelitian pada Maret 2019. Namun, saya sempat istirahat ketika bulan puasa di Mei 2019. Saya melanjutkan penelitian setelah sepuluh hari lebaran hingga 17 Juni 2019. Setelah saya mendalami, saya semakin asyik bersilaturahim, berdialog dengan penduduk Suku Anak Dalam yang tersebar di delapan kabupaten Provinsi Jambi
Dari delapan kabupaten itu, sebanyak enam kabupaten terdapat Suku Anak Dalam, dan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur didiami Suku Duano. Suku Duano adalah suku anak pantai. Mereka sebelumnya hidup di perahu, namun sekarang sudah berada di atas pondasi kerangka kayu di atas laut.
Di wilayah hidup Suku Duano ini sudah banyak masyarakat pendatang dan berinteraksi sosial dengan baik dengan masyarakat Duano. Kondisi ekonomi dan kehidupan Suku Duano lebih rendah (miskin) dari ekonomi dan kehidupan pendatang, karena mereka mempunyai jaringan perdagangan dengan masyarakat luar. Keadaan masyarakat Suku Duano digolongkan dengan masyarakat miskin oleh Kementerian Sosial RI.
Sementara penyebutan Suku Anak Dalam diistilahkan oleh Profesor Munthalib, Guru Besar Universitas Islam Sultan Thaha Saifuddin Jambi. Dalam penelitian saya di enam kabupaten, yaitu Kabupaten Bungo, Tebo, Muaro Jambi, Batang Hari, Sarolangun, dan Marangin, ada keanehan kebiasaan Suku Anak Dalam yang tinggal di Batang Hari, namanya Suku Batin. Asal muasal mereka berasal dari Kerajaan Mataram dan Majapahit. Yang di Tebo, Muara Bungo, Marangin, mereka banyak berasal Pagaruyung, Minangkabau, Sumatera Barat.
Mengapa mereka lebih memilih tinggal dan menetap di hutan belantara?
Dahulu, mereka mereka adalah prajurit-prajurit kerajaan. Mereka tidak mau dijajah, kemudian lari ke pedalaman dan membangun pertahanan. Hingga tersebutlah orang Rimbo, Kubu, dan Batin. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang berada di Jambi.
Saya terus mencari tahu. Dimanakah sebenarnya Suku Anak Dalam ini dipetakan oleh pemerintah? Terus seperti itukah kehidupan dengan era globalisasi dan modern seperti sekarang ini? Apakah di antara mereka menginginkan perubahan? Karena sebagian dari mereka sudah mengenal teknologi. Sudah memiliki sepeda motor, mengenal gadget dan internet, khususnya para anak muda. Maka saya buatlah penelitian berjudul: Pengaruh Implementasi Kebijakan Publik Pemberdayaan Generasi Muda Suku Anak Dalam Mencegah dan Menyelesaikan Konflik di Provinsi Jambi Dalam Rangka Ketahanan Nasional.
Kenapa saya buat kebijakan publik? Dari data dan referensi yang saya baca bahwa sejak 1973 mereka sudah dibina oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial RI. Namun kondisi mereka masih memprihatinkan. Bahkan sudah banyak Suku Anak Dalam berada di luar pemukimannya dalam kondisi hidup kurang stabil, diawali dengan maraknya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan berpindah tangan ke Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan, Hutan Tanaman Indistri (HTI), dan pertambangan.
Bisa dicontohkan tradisi yang dilakukan Suku Anak Dalam?
Saya melihat ada tradisi berbeda di masing-masing Suku Anak Dalam ketika kerabatnya meninggal. Orang Kubu di Batang Hari, misalnya, jika ada kerabatnya meninggal, jenazahnya ditanam (dikubur). Kalau orang Rimbo, mereka meletakkan jenazah di atas kayu kemudian ditutup kain panjang. Jenazah itu dibiarkan begitu saja, lalu mereka yang masih hidup melangun ke wilayah lain untuk meninggalkan kedukaan itu. Biasanya, mereka akan datang kembali setahun atau dua tahun berikutnya setelah melangun ke wilayah lain.
Sayangnya, aktivitas melangun untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, saat ini tidak mereka dapatkan. Sejak pemukiman mereka tergusur oleh perusahaan perkebunan, mereka tidak memiliki lagi benteng pertahanan.
Saya pernah baca di perpustaan di Jerman, disebutkan bahwa pemukiman asli penduduk Suku Anak Dalam masih ada di tahun 1908. Kalaupun mereka sudah dibina oleh pemerintah sejak 1973, menurut saya pembinaannya tidak berhasil.
Mengapa pembinaan itu tidak berhasil?
Berdasarkan penelitian saya, umumnya mereka mengungkapkan karena kehidupan asli, bahkan adat istiadat mereka telah tergusur dan tidak lagi dilestarikan. Dari permasalahan yang dihadapi Suku Anak Dalam itu, saya berinisiatif ingin membangun sebuah pondok pesantren. Hingga akhirnya tercetuslah pembangunan Pondok Pesantren Terpadu JBMI di Kabupaten Tebo, sekaligus menjadi Melangun Destination bagi Suku Anak Dalam di Jambi.
Di Ponpes Terpadu JBMI ini bukan hanya bagaimana mengajarkan pendidikan agama, tetapi bagaimana mereka mendapatkan berbagai keterampilan. Karena, Presiden Jokowi sering menyampaikan bahwa bonus demografi jangan menjadi ancaman bagi bangsa, tapi sebagai anugerah. Karena itu, harus kita siapkan SDM yang produktif, kreatif, dan berkualitas. Presiden juga menyampaikan kebijakan Revolusi Industri 4.0 itu terus digemakan. Sebagai Ketum JBMI, saya ingin menjadikan Ponpes Terpadu JBMI sebagai wadah pembinaan bagi Suku Anak Dalam di berbagai bidang pendidikan keterampilan, sehingga nanti mereka lebih siap terhadap kehidupan yang lebih maju.
Berdasarkan sensus penduduk di BPS disebutkan bahwa generasi muda berusia 16-19 tahun sebanyak 1990-an orang atau 55 persen dari sekitar 3.800 KK Suku Anak Dalam. Tetapi saya tidak melihat sebanyak itu di lapangan. Perkiraan saya hanya ada sekitar 30 persen. Karena, di antara mereka ada yang sudah menikah, bekerja, bahkan ada yang menjadi tentara. Di antara mereka ada yang sudah tamat sekolah, baik di lembaga pendidikan formal maupun informal—kejar paket A, B, dan C–di daerah-daerah pinggiran kota, seperti di Marangin, Batang Hari, yang sudah agak modern. Yang belum modern misalnya di Sarolangun dan Tebo.
Namun, walaupun sudah lulus SMA, banyak yang tidak mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Mereka sebenarnya ingin melanjutkan kuliah. Sementara orangtuanya masih mencari-cari di mana mereka harus tinggal, dan bagaimana cara menyekolahkan anaknya. Maka saya bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Ahsyahta di Jambi untuk memecahkan persoalan tersebut. Kami secara bersama-sama mencari beasiswa dari pemerintah untuk membantu remaja-remaja Suku Anak Dalam agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Kembali ke Ponpes Terpadu JBMI. Pendidikan keterampilan apa saja yang akan diberikan kepada Suku Anak Dalam?
Seperti saya sampaikan di atas, ternyata mereka sudah bergentayangan (melangun) ke pemukiman penduduk. Untuk bertahan hidup, ada yang memungut barang-barang bekas, bahkan ada yang menjadi pengemis. Jadi, tidak ada tempat tujuan mereka melangun yang pasti.
Pondok Pesantren Terpadu kitat bangun sebagai tempat tujuan melangun yang pasti. Ponpes Terpadu ini ada destinasi melangun, balai latihan keterampilan otomotif, elektronik, kontruksi, membuat kursi, dan kegiatan UMKM.
Yang terpenting, penelitian saya ini tidak bersinggungan dengan penelitian yang dilakukan Walhi, Warsi, Dompet Sumatera, LSM Sekolah, dan LSM lainnya. Saya meneliti apa yang tidak mereka teliti. Karena ternyata masih banyak kekosongan. Pemerintah memang membangun rumah untuk Suku Anak Dalam. Namun bagi mereka, bukan itu yang mereka butuhkan. Bukan model rumah yang dibangun pemerintah yang diinginkan. Mereka ingin membangun rumah sesuai adat istiadat di lahan atau pekarangan tempat mereka hidup. Saya temukan bahwa hampir 80 persen bangunan yang dibangun pemerintah perlu ditinjau kembali. Perlu diadakan restrukturisasi sosial kembali. Untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi Suku Anak Dalam dengan pemerintah, menurut saya perlu ada sebuah Badan Nasional Penanggulangan Komunitas Adat Terpencil atau BNPKAT.
Fungsi BNPKAT?
Saat ini Suku Anak Dalam itu masih berkonflik dengan perusahaan perkebunan, di sisi lain tidak ada yang memperhatikan mereka untuk kepentingan lahan mereka. Karena semua lahannya sudah diambil perusahaan perkebunan. Diawali dengan maraknya HPH, menjadi HGU perkebunan, HTI, dan pertambangan. Ketika menghadapi konflik mereka butuh bantuan. Karena sebagian besar tidak pandai baca tulis.
Ternyata, saya temukan orang Suku Anak Dalam ada yang memiliki surat pengelolaan lahan. Suku Anak Dalam di Batang Hari, misalnya, mereka memiliki surat tentang penguasaan wilayah dari Kresidenan Palembang zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Isi surat iitu menyatakan bahwa nenek moyang mereka sudah tinggal di situ sebelum Belanda datang ke Indonesia.
Maka perlu dibentuk Badan Nasional Komunitas Adat Terpencil. BNPKAT juga membantu memecahkan persoalan yang dihadapi Suku Anak Dalam lainnya di Indonesia. Di Indonesia terdapat 19 Suku Anak Dalam. Jika keberadaan mereka tidak segera ditangani, akan menjadi persoalan dalam konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) Pemerintahan Presiden Jokowi tahun 2020. Jadi, BNPKAT inilah yang nanti banyak memberikan pembinaan kepada mereka.
Jika mereka dibina dengan baik oleh BNPKAT, saya yakin konsepnya Presiden Jokowi di tahun 2021 sudah tuntas. Jadi sebenarya jika pemerintah kabupaten, provinsi, dan BNKAT secara terintegrasi memberikan pembinaan, saya yakin dua tahun selesai, dan mungkin mereka akan sejajar dengan warga masyarakat lain.
Payung hukum BNPKAT?
Jika kita melihat sejarah perkembangan terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dulu persoalan bencana ditangani oleh Dandim bersama pemerintah kabupaten. Seperti halnya BNPB, keberadaan BNPKAT juga ad hoc.
BNPB berdiri dengan dasar Keputusan Presiden. BNPKAT juga berdasarkan Keppres. Tentunya ada pendekatan-pendekatan politik. Banyak orang yang terganggu, yang biasa mereka lakukan menjadi terkontrol. Yang tadinya tidak terkontrol menjadi terkontrol. Misalnya Walhi, Warsi, Dompet Sumatera, lSM Sekolah, mereka akan dikontrol oleh BNPKAT. Jadi mereka tidak boleh serta merta masuk saja ke area penanganan Suku Anak Dalam. Sehingga terhindarlah Suku Anak Dalam dari “pemanfaatan” kepentingan. Jika badan ini dibentuk, saya yakin Suku Anak Dalam merasa diperhatikan secara utuh oleh Pak Jokowi. Artinya, pemerintah hadir di Suku Anak Dalam. Tidak lagi terpecah-pecah dalam pembinaannya.
Agar mampu menjalankan perannya, BNPKAT diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan pemberdayaan KAT dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Sehingga ketahanan GEMA SAD semakin tangguh, akhirnya ketahanan nasional pun tangguh.
Struktur BNPKAT haruslah efektif, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat KAT. Dengan struktur organisasi efektif dan efisien, berdampak positif pada penylenggaraan program kerja, penyerapan anggaran dan pelaksanaan pelayanan publik bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan sektor pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), untuk mewujudkan struktur organisasi yang kecil struktur tetapi mempunyai kapasitas yang besar, sebagai implementasi prinsip efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tapak Ir. H. Joko Widodo dan Tuan Syekh Ibrahim Sitompul
Ketua DPW JBMI Bengkulu Sukriadi Sitompul bersama Ketua Umum JBMI H. Albiner Sitompul JBMINews : Oleh: H. Albiner Sitompul, S.IP, M....
-
Ketua Umum JBMI dan Beberapa Pengurus DPP JBMI Bersilaturahmi dangan Prof. Yusril Ihza Mahendra (Ketum PBB) JBMI News : Bursa calon m...
-
JBMI News : Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persadaan Raja Toga Sitompul (PRTS) bersama para tokoh adat/marga, masyarakat, dan agama men...
-
Jakarta, JBMINews - Radikalisme dan Intoleransi masih menjadi batu sandungan bagi rencana pembangunan jangka menengah nasional pem...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar