KETUA UMUM DPP Jam’iyah Batak Muslim Indonesia
(JBMI), H. Albiner Sitompul, S.IP, M.AP, telah merampungkan hasil
penelitiannya setelah 2 bulan berasimilasi dengan Suku Anak Dalam (SAD)
di Provinsi Jambi. Bundel buku hasil penelitian bersampul depan
bergambar Albiner Sitompul mengenakan kaos warna hitam, kopiah putih di
kepala, dan berserebet sarung sedang memberikan permen kepada seorang
bocah perempuan SAD , ia beri judul: “Pengaruh Implementasi Kebijakan
Publik Pemberdayaan Generasi Muda Suku Anak Dalam Mencegah dan
Menyelesaikan Konflik di Provinsi Jambi Dalam Rangka Ketahanan
Nasional.”
Keberadaan SAD di Jambi memang sudah terekspos oleh media massa, baik
cetak maupun elektronik. Lantas, mengapa seorang Albiner Sitompul
begitu serius bahkan rela meninggalkan keluarga kecilnya selama 2 bulan
untuk beradaptasi, bersosialisasi, hingga melakukan penelitian terhadap
SAD yang tersebar di delapan kabupaten yang ada di Provinsi Jambi.
“Ada banyak poin penting yang saya
dapatkan dari hasil penelitian langsung ini. Saya kira penelitian ini belum
pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya,” kata Albiner Sitompul
memberikan bocoran hasil petualangannya di wilayah pedalaman Jambi.
Berada di tengah-tengah suku pedalaman
memang sudah tak asing bagi mantan Kepala Biro Pers Istana di masa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ketika menjabat Asisten Teritorial TNI di Papua, Albiner Sitompul kerap
berinteraksi dengan komunitas adat terpencil di Bumi Cendrawasih
Mengulik lebih dalam misi mulia pria
kelahiran Sibolga, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 23 Februari 1965 ini
terhadap SAD di Jambi, Syarifudin dari Visioneer tergelitik untuk mewawancarainya.
Berikut petikannya:
Bagaimana
ceritanya Anda tertarik melakukan penelitian terhadap keberadaan Anak Suku
Dalam di Jambi?
Semua itu berawal dari dibangunnya Tugu Titik Nol Pusat Peradaban
Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi
Sumatera Utara, yang digagas oleh Jam’iyah Batak Muslim Indonesia
(JBMI). Pembangunan tugu ini telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo
pada Maret 2017.
Pembangunan Tugu Titik Nol Pusat
Peradaban Islam Nusantara ini sebagai simbol masuknya ajaran agama Islam ke
tanah Batak sejak abad ke-10 Masehi. Namun, eksistensi masyarakat Islam di
tanah Batak telah dimulai sejak dua atau tiga abad sebelumnya. Hal ini
dibuktikan adanya makam mahligai bertarikh abad ke-8 Masehi di Barus, yang
menguatkan keberadaan komunitas Muslim yang mapan di tanah Batak.
Zaman kolonial Belanda menjajah Indonesia, sekitar tahun 1890-an, di
Desa Janji Angkola, Tapanuli Utara, ada salah satu pemuka agama Islam,
yaitu Tuan Syeikh Ibrahim Sitompul. Beliau juga Kepala Kampung Janji
Angkola yang melakukan perlawanan dan melakukan aksi politik terhadap
penjajah Belanda di tanah Batak. Konon, Tuan Syeikh Ibrahim Sitompul tak
hanya menyiarkan agama Islam di tanah Batak, tapi juga ke wilayah lain
di Sumatera, termasuk ke Jambi.
Sebagai
organisasi Islam, bagaimana JBMI memposisikan diri di tengah perbedaan agama
yang ada di tanah Batak?
Saya adalah Ketua Umum DPP JBMI. Dalam
proses pemilihan Ketum JBMI, sebelumnya saya diminta oleh umat Batak Muslm
untuk ikut dalam Musyawarah Nasional (Munas) JBMI yang digelar Januari 2016.
Hasil aklamasi mereka meminta dan menerima saya sebagai Ketum DPP JBMI untuk
periode 2016-2021.
Pandangan saya terhadap Batak Muslim adalah dari sisi budaya bahwa Batak itu mempunyai keunikan. Uniknya di adat istiadat
Dalihan Natolu yang mengatakan,
elek marboru, somba marhula hula, manat mardongan tubu.
Elek marboru
artinya, kita harus menyayangi putri kita, keluarga putri kita, dan
semua keluarga dari pihak putri. Jadi, kita harus menyayangi, mengayomi,
melayani mereka. Maksud
Somba marhula hula adalah kita harus
menghormati keluarga dari istri kita, keluarga dari ibu kita, dan
keluarga dari nenek kita. Mereka adalah ibu bagi kita yang melahirkan
semua keturunan kita. Sesama keturunan kita namanya
manat mardongan tubu. Jadi, kita harus saling menghormati, saling setara, menjaga kebersamamaan, dan membina hubungan kekeluargaan.
Itulah makna dari
Dalihan Natolu. Uniknya lagi, ketika orang Batak itu memeluk agama Islam, Kristen, Hindu, atau Budha, tapi
Dalihan Natolu tidak berubah. Walapun beda agama, dia tetap memanggil Tulang, Namboru, Abang, Adik, Bapak Tua, Bapak Uda, dan Anak.
Saya contohkan untuk adat
hula hula, Bobby Nasution menikah dengan Kahiyang Ayu, putri Presiden Jokowi, yang
notabene orang
Jawa. Kemudian pihak dari Presiden Jokowi berasimilasi dengan adat
Batak, maka diangkat dengan gelar marga Siregar. Bobby yang bermarga
Nasution memanggil Tulang kepada Siregar. Itulah contoh konkritnya.
Tahap
selanjutnya setelah Anda terpilih sebagai Ketum JBMI?
Saya memulainya dengan menyelenggarakan Silaturahmi
Nasional (Silatnas) JBMI yang kegiatannya antara lain mengadakan seminar di
Mandailing Natal. Acara Silatnas JBMI ditutup oleh Presiden Jokowi pada Maret
2017.
Materi pembahasan seminar untuk membangkitkan marwah
Dalihan Natolu. Bahwa orang Batak ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, dan Kristen. Bahwa Batak itu adalah budaya. Dengan
Dalihan Natolu mereka
bisa berasimilasi, menjalin, menjaga kebersamaan, keutuhan hubungan
kekerabatan, dan silaturahmi, baik sesama adat maupun di luar adat
Batak. Apakah itu dengan suku Padang, Palembang Melayu, Jambi Melayu,
Jawa, Sunda, Dayak, Kalimantan, dan suku lainnya, mereka punya hubungan
kekerabatan dengan orang Batak. Ternyata ajaran
Dalihan Natolu tidak bertentangan dengan agama dan Pancasila.
Presiden Jokowi saat memberikan sambutan acara penutupan Silatnas
JBMI juga berpesan agar JBMI sebagai ormas harus mewujudkan persatuan,
kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan dengan semua suku yang ada di
Indonesia.
Nah, setelah peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara
di Barus, saya melakukan perjalanan ke Pekanbaru, Padang, sampai ke
Palembang. Ketika menginjakkan kaki di Jambi, saya melihat ada sebuah
keunikan terhadap aktivitas dan kehidupan Suku Anak Dalam. Semakin saya
perhatikan, semakin dalam keingintahuan saya tentang Suku Anak Dalam.
Bathin saya bertanya, di mana beradanya Suku Anak Dalam? Apakah dia
pemeluk agama Hindu, Budha, Kristen, atau Islam? Dari situlah saya
memutuskan untuk melakukan penelitian. Kemudian saya bertemu dengan
Jenang yang menjadi perwakilan Suku Anak Dalam yang berada di perkampungan umum.
Kapan
penelitian itu mulai dilakukan?
Saya mulai melakukan penelitian pada
Maret 2019. Namun, saya sempat istirahat ketika bulan puasa di Mei 2019. Saya melanjutkan penelitian setelah sepuluh
hari lebaran hingga 17 Juni 2019. Setelah saya mendalami, saya semakin asyik
bersilaturahim, berdialog dengan penduduk Suku Anak Dalam yang tersebar di
delapan kabupaten Provinsi Jambi
Dari delapan kabupaten itu, sebanyak enam kabupaten terdapat Suku
Anak Dalam, dan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan
Tanjung Jabung Timur didiami Suku Duano. Suku Duano adalah suku anak
pantai. Mereka sebelumnya hidup di perahu, namun sekarang sudah berada
di atas pondasi kerangka kayu di atas laut.
Di wilayah hidup Suku Duano ini sudah banyak masyarakat pendatang dan
berinteraksi sosial dengan baik dengan masyarakat Duano. Kondisi
ekonomi dan kehidupan Suku Duano lebih rendah (miskin) dari ekonomi dan
kehidupan pendatang, karena mereka mempunyai jaringan perdagangan dengan
masyarakat luar. Keadaan masyarakat Suku Duano digolongkan dengan
masyarakat miskin oleh Kementerian Sosial RI.
Sementara penyebutan Suku Anak Dalam diistilahkan
oleh Profesor Munthalib, Guru Besar Universitas Islam Sultan Thaha Saifuddin
Jambi. Dalam penelitian saya di enam kabupaten, yaitu Kabupaten Bungo, Tebo,
Muaro Jambi, Batang Hari, Sarolangun, dan Marangin, ada keanehan kebiasaan Suku
Anak Dalam yang tinggal di Batang Hari, namanya Suku Batin. Asal muasal mereka berasal
dari Kerajaan Mataram dan Majapahit. Yang di Tebo, Muara Bungo, Marangin,
mereka banyak berasal Pagaruyung, Minangkabau, Sumatera Barat.
Mengapa
mereka lebih memilih tinggal dan menetap di hutan belantara?
Dahulu, mereka mereka adalah
prajurit-prajurit kerajaan. Mereka tidak mau dijajah, kemudian lari ke
pedalaman dan membangun pertahanan. Hingga tersebutlah orang Rimbo, Kubu, dan
Batin. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang berada di Jambi.
Saya terus mencari tahu. Dimanakah sebenarnya Suku Anak Dalam ini
dipetakan oleh pemerintah? Terus seperti itukah kehidupan dengan era
globalisasi dan modern seperti sekarang ini? Apakah di antara mereka
menginginkan perubahan? Karena sebagian dari mereka sudah mengenal teknologi.
Sudah memiliki sepeda motor, mengenal
gadget
dan internet, khususnya para anak muda. Maka saya buatlah penelitian berjudul:
Pengaruh Implementasi Kebijakan Publik Pemberdayaan Generasi Muda Suku Anak
Dalam Mencegah dan Menyelesaikan Konflik di Provinsi Jambi Dalam Rangka
Ketahanan Nasional.
Kenapa saya buat kebijakan publik? Dari data dan referensi yang saya
baca bahwa sejak 1973 mereka sudah dibina oleh pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial RI.
Namun kondisi mereka masih memprihatinkan. Bahkan sudah banyak Suku
Anak Dalam berada di luar pemukimannya dalam kondisi hidup kurang
stabil, diawali dengan maraknya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
berpindah tangan ke Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan, Hutan Tanaman
Indistri (HTI), dan pertambangan.
Bisa
dicontohkan tradisi yang dilakukan Suku Anak Dalam?
Saya melihat ada tradisi berbeda di masing-masing Suku Anak Dalam
ketika kerabatnya meninggal. Orang Kubu di Batang Hari, misalnya, jika
ada kerabatnya meninggal, jenazahnya ditanam (dikubur). Kalau orang
Rimbo, mereka meletakkan jenazah di atas kayu kemudian ditutup kain
panjang. Jenazah itu dibiarkan begitu saja, lalu mereka yang masih hidup
melangun ke wilayah lain untuk meninggalkan kedukaan itu.
Biasanya, mereka akan datang kembali setahun atau dua tahun berikutnya
setelah
melangun ke wilayah lain.
Sayangnya, aktivitas
melangun untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, saat ini tidak mereka dapatkan. Sejak pemukiman mereka
tergusur oleh perusahaan perkebunan, mereka tidak memiliki lagi benteng
pertahanan.
Saya pernah baca di perpustaan di Jerman, disebutkan bahwa pemukiman
asli penduduk Suku Anak Dalam masih ada di tahun 1908. Kalaupun mereka
sudah dibina oleh pemerintah sejak 1973, menurut saya pembinaannya tidak
berhasil.
Mengapa
pembinaan itu tidak berhasil?
Berdasarkan penelitian saya, umumnya mereka mengungkapkan karena
kehidupan asli, bahkan adat istiadat mereka telah tergusur dan tidak
lagi dilestarikan. Dari permasalahan yang dihadapi Suku Anak Dalam itu,
saya berinisiatif ingin membangun sebuah pondok pesantren. Hingga
akhirnya tercetuslah pembangunan Pondok Pesantren Terpadu JBMI di
Kabupaten Tebo, sekaligus menjadi
Melangun Destination bagi Suku Anak Dalam di Jambi.
Di Ponpes Terpadu JBMI ini bukan hanya bagaimana mengajarkan
pendidikan agama, tetapi bagaimana mereka mendapatkan berbagai
keterampilan. Karena, Presiden Jokowi sering menyampaikan bahwa bonus
demografi jangan menjadi ancaman bagi bangsa, tapi sebagai anugerah.
Karena itu, harus kita siapkan SDM yang produktif, kreatif, dan
berkualitas. Presiden juga menyampaikan kebijakan Revolusi Industri 4.0
itu terus digemakan. Sebagai Ketum JBMI, saya ingin menjadikan Ponpes
Terpadu JBMI sebagai wadah pembinaan bagi Suku Anak Dalam di berbagai
bidang pendidikan keterampilan, sehingga nanti mereka lebih siap
terhadap kehidupan yang lebih maju.
Berdasarkan sensus penduduk di BPS disebutkan bahwa generasi muda
berusia 16-19 tahun sebanyak 1990-an orang atau 55 persen dari sekitar
3.800 KK Suku Anak Dalam. Tetapi saya tidak melihat sebanyak itu di
lapangan. Perkiraan saya hanya ada sekitar 30 persen. Karena, di antara
mereka ada yang sudah menikah, bekerja, bahkan ada yang menjadi
tentara. Di antara mereka ada yang sudah tamat sekolah, baik di lembaga
pendidikan formal maupun informal—kejar paket A, B, dan C–di
daerah-daerah pinggiran kota, seperti di Marangin, Batang Hari, yang
sudah
agak modern. Yang belum modern misalnya di Sarolangun dan Tebo.
Namun, walaupun sudah lulus SMA, banyak yang tidak mampu
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Mereka sebenarnya ingin melanjutkan
kuliah. Sementara orangtuanya masih mencari-cari di mana mereka harus tinggal, dan
bagaimana cara menyekolahkan anaknya. Maka saya bekerjasama dengan Sekolah
Tinggi Agama Islam Ahsyahta di Jambi untuk memecahkan persoalan tersebut. Kami secara bersama-sama mencari beasiswa
dari pemerintah untuk membantu remaja-remaja Suku Anak Dalam agar bisa
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Kembali
ke Ponpes Terpadu JBMI. Pendidikan keterampilan apa saja yang akan diberikan
kepada Suku Anak Dalam?
Seperti saya sampaikan di atas, ternyata mereka sudah bergentayangan
(melangun) ke pemukiman penduduk. Untuk bertahan hidup, ada yang
memungut barang-barang bekas, bahkan ada yang menjadi pengemis. Jadi,
tidak ada tempat tujuan mereka
melangun yang pasti.
Pondok Pesantren Terpadu kitat bangun sebagai tempat tujuan
melangun yang pasti. Ponpes Terpadu ini ada destinasi
melangun, balai latihan keterampilan otomotif, elektronik, kontruksi, membuat kursi, dan kegiatan UMKM.
Yang terpenting, penelitian saya ini tidak bersinggungan dengan
penelitian yang dilakukan Walhi, Warsi, Dompet Sumatera, LSM Sekolah,
dan LSM lainnya. Saya meneliti apa yang tidak mereka teliti. Karena
ternyata masih banyak kekosongan. Pemerintah memang membangun rumah
untuk Suku Anak Dalam. Namun bagi mereka, bukan itu yang mereka
butuhkan. Bukan model rumah yang dibangun pemerintah yang diinginkan.
Mereka ingin membangun rumah sesuai adat istiadat di lahan atau
pekarangan tempat mereka hidup. Saya temukan bahwa hampir 80 persen
bangunan yang dibangun pemerintah perlu ditinjau kembali. Perlu diadakan
restrukturisasi sosial kembali. Untuk menyelesaikan segala permasalahan
yang dihadapi Suku Anak Dalam dengan pemerintah, menurut saya perlu ada
sebuah Badan Nasional Penanggulangan Komunitas Adat Terpencil atau
BNPKAT.
Fungsi
BNPKAT?
Saat ini Suku Anak Dalam itu masih berkonflik
dengan perusahaan perkebunan, di sisi lain tidak ada yang memperhatikan mereka
untuk kepentingan lahan mereka. Karena semua lahannya sudah diambil perusahaan
perkebunan. Diawali dengan maraknya HPH, menjadi HGU perkebunan, HTI, dan
pertambangan. Ketika menghadapi konflik mereka butuh bantuan. Karena sebagian
besar tidak pandai baca tulis.
Ternyata, saya temukan orang Suku Anak
Dalam ada yang memiliki surat pengelolaan lahan. Suku Anak Dalam di Batang Hari,
misalnya, mereka memiliki surat tentang penguasaan wilayah dari Kresidenan
Palembang zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Isi surat iitu menyatakan bahwa
nenek moyang mereka sudah tinggal di situ sebelum Belanda datang ke Indonesia.
Maka perlu dibentuk Badan Nasional Komunitas Adat Terpencil. BNPKAT
juga membantu memecahkan persoalan yang dihadapi Suku Anak Dalam lainnya
di Indonesia. Di Indonesia terdapat 19 Suku Anak Dalam. Jika
keberadaan mereka tidak segera ditangani, akan menjadi persoalan dalam
konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) Pemerintahan Presiden
Jokowi tahun 2020. Jadi, BNPKAT inilah yang nanti banyak memberikan
pembinaan kepada mereka.
Jika mereka dibina dengan baik oleh
BNPKAT, saya yakin konsepnya Presiden Jokowi di tahun 2021 sudah tuntas. Jadi
sebenarya jika pemerintah kabupaten, provinsi, dan BNKAT secara terintegrasi
memberikan pembinaan, saya yakin dua tahun selesai, dan mungkin mereka akan
sejajar dengan warga masyarakat lain.
Payung
hukum BNPKAT?
Jika kita melihat sejarah perkembangan
terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dulu persoalan
bencana ditangani oleh Dandim bersama pemerintah kabupaten. Seperti halnya
BNPB, keberadaan BNPKAT juga
ad hoc.
BNPB berdiri dengan dasar Keputusan
Presiden. BNPKAT juga berdasarkan Keppres. Tentunya ada pendekatan-pendekatan
politik. Banyak orang yang terganggu, yang biasa mereka lakukan menjadi terkontrol.
Yang tadinya tidak terkontrol menjadi terkontrol. Misalnya Walhi, Warsi, Dompet
Sumatera, lSM Sekolah, mereka akan dikontrol oleh BNPKAT. Jadi mereka tidak
boleh serta merta masuk saja ke area penanganan Suku Anak Dalam. Sehingga
terhindarlah Suku Anak Dalam dari “pemanfaatan” kepentingan. Jika badan ini
dibentuk, saya yakin Suku Anak Dalam merasa diperhatikan secara utuh oleh Pak
Jokowi. Artinya, pemerintah hadir di Suku Anak Dalam. Tidak lagi terpecah-pecah
dalam pembinaannya.
Agar mampu menjalankan perannya, BNPKAT diberikan kewenangan yang
seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan pemberdayaan KAT dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Sehingga ketahanan GEMA SAD semakin tangguh,
akhirnya ketahanan nasional pun tangguh.
Struktur BNPKAT
haruslah efektif, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat
KAT. Dengan struktur organisasi efektif dan efisien, berdampak positif pada
penylenggaraan program kerja, penyerapan anggaran dan pelaksanaan pelayanan
publik bagi masyarakat. Hal ini
dikarenakan sektor pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), untuk mewujudkan struktur organisasi yang kecil struktur tetapi
mempunyai kapasitas yang besar, sebagai implementasi prinsip efektif dan
efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan.